Friday, January 19, 2018

Cerpen Beserta Unsur Intrinsiknya

Mendaki Rinjani


Hari yang melelahkan... Aku tertinggal dari rombongan karena kelelahan. Hari ini, aku dan mereka mendaki Rinjani, tapi karena ini pengalaman pertamaku mendaki gunung, aku tertinggal jauh dari mereka yang rata-rata pernah mendaki sebelumnya. Lagipula, aku bukan teman akrab mereka. Aku hanya sosok asing yang nekat ikut mendaki hanya berbekal seorang teman yang aku kenal, sisanya stranger. Lebih tepatnya, akulah stranger itu.
Sekarang, disinilah aku. Ditengah-tengah bukit panjang yang curamnya, Gilaaa. Awalnya kukira bukit populer ini adalah bukit gersang yang panasnya luar biasa, nyatanya nggak. Panas sih, iya. Haus juga, banget! Siang bolong mendaki gimana nggak panas? gimana nggak haus? Tapi lama-lama dingin. Entah darimana datangnya kabut yang kemudian ikut mendaki sang bukit bersama dengan berpuluh orang disekitarku sekarang, dan kabutnya menang, kami kalah. Ternyata, aku baru eng-ngeuh, kecepatan kabut bisa berkilo-kilometer per-jam, aku tidak tahu itu, ini kan pertama kalinya aku kegunung, dan tempat tinggalku daerah tropis.
Sejak menatapnya dari bibir bukit, aku sudah geleng-geleng sendiri menyaksikan betapa curam bukit yang sering kali ku dengar membuat orang menyesal mendaki Rinjani. kukenalkan saja, Namanya Bukit Penyesalan, dan benar kukira, nama itu memang cocok untuknya, meski begitu, aku tidak menyesal. Aku kesusahan, aku kelelahan, sesekali hampir jatoh, sesekali terpeleset, lalu kenapa? Bukankah sejak awal aku tahu resiko ini? Memang beginilah sensasi mendaki gunung! Lagipula, bukit ini tidak sepenuhnya menjengkelkan, ia juga menawarkan adrenalin. Tidak main-main! 3726 mdpl tingginya Rinjani dan merupakan gunung tertinggi ketiga di Indonesia. Tapi ternyata tak seburuk yang kuduga, meski juga tak sebaik yang aku duga.
Sekarang, aku disini kelelahan, kehausan, keringatan. Kulihat sekitarku dan tak kupercayai pandanganku! Bagaimana bisa para porteritu mendaki dengan enteng meski dengan beban berat yang ada di bahu mereka. Dua keranjang penuh yang mereka pikul dengan kayu yang seimbang di bahunya, dan betapa malunya melihat diri sendiri membawa backpackkecil tapi ngos-ngosan ditengah bukit penyesalan. Barangkali sebagian rombonganku telah sampai di pelawangan, kata mereka pelawangan adalah gerbang transit, antara naik ke puncak Rinjani, dan turun ke Segara Anak yang menjadi gula-gulanya Rinjani, entahlah! Aku belum sampai mana-mana. Kakiku sudah nyut-nyutan, aku masih betah duduk dibawah cemara tinggi yang kusenderi dengan kaki selonjoran.
Aku haus. Benar-benar haus, tapi dimana bisa nyari air? aku tertinggal rombongan. Karena pemalu, aku juga tak bisa meminta pada orang lain, tapi EEIIITZZ!!! Hari ini kusingkirkan Malu-ku. Ini bukan saatnya untuk itu! tegasku ke diri sendiri, jadi akupun mendekat pada seseorang yang keliatannya lagi sendiri juga dengan botol minuman terselip di sisi kanan kerilnya. mungkin dia juga tertinggal rombongannya, atau malah dialah sang peninggal rombongan, SIAPA PEDULI?!
"Mas, boleh minta airnya nggak?"
"....Ah... Euuughhh.... gimana ya?__ Maaf banget meton!(meton : bro) airku tinggal sedikit, dan Perjalanan masih jauh!" ditolaknya berusaha lembut. Anehnya, aku seperti tertampar dengan kasarnya, betapa malu kurasakan. Wajahku jadi kikuk, nyesel rasanya. Nggak lagi-lagi deh aku minta! Niatku dalam hati. Aku bahkan tak tahu apa yang akan aku katakan lagi, aku ingin kembali memutar waktu dua menit yang lalu. Aku bahkan terlalu canggung untuk kembali keposisiku sebelumnya, dan Sumpah! Aku haus banget. Aku harus mulai jalan lagi! Ya, hanya itulah yang terpikir sekarang.
"Ya udah, aku duluan ya!" pamitku pada orang tak dikenal itu, akupun mulai berjalan lesu, dengan saaangat pelan...
"Excuse me! May I ask your water?"
Baru beberapa langkah, kudengar seorang bule meminta air dibelakangku, dan aku langsung melirik. APA AKU JUGA BISA MINTA? Tapi begitu menengok belakang, ternyata bule itu sedang meminta pada orang yang tadi kumintai. Aku langsung menekuk senyum,tapi sinis, dan rupanya aku terlalu meremehkan. Kupikir nasib bule itu akan persis seperti yang aku rasakan sebelumnya, nyatanya aku salah besar, dia memberikannya. Aku yang hampir membalik pandangan lagi dibuat melongo. Sungguh sulit dipercaya! Dia memberikannya, Lengkap dengan senyuman dan basa basa-basi seadanya dari keterampilan bahasa asingnya yang terdengar gagap dan gugup.
Dia menolak memberikanku tapi dia memberikannya pada bule itu? APA-APAAN!! Dia lebih memilih memberikannya pada orang asing daripada saudara setanah air dan langitnya nya sendiri? ....AAAHHHH! teriakku dalam hati dengan sangat kesal.
Wajahku berganti melankolis. Senyum sinisku sirna seketika. Aku berkasak-kusuk dalam hati. Ingin rasanya aku mengutuki sosok tak dikenal itu, dimana rasa nasionalismenya? tapi kemudian kulihat orang itu memandangku dengan perasaan tak enak. Ia menunduk, tak mampu memandangku lebih lama, entah pertanda apa sikapnya itu?
Akhirnya aku berbalik lagi dan melanjutkan perjalanan dengan kelesuan yang berlipat-lipat. Untuk sesaat aku mengakui, aku merasa malang. Aku terus berjalan pelan. Sesekali berhenti untuk mengatur napas lagi, dan terus melanjutkan mendaki. Hingga kemudian, tiba-tiba sesosok tubuh menyalipku, dekat sekali jaraknya.
"Hai bro!" sapanya.
Aku menoleh. "...Oh!" gumamku singkat. Keras aku berjuang untuk memproduksi raut ramah.
"Mmm... Soal tadi, maaf ya?" ucapnya mensejajarkan langkah denganku, ia langsung ke poin-nya.
".......Mmm." jawabku singkat dengan anggukkan dan senyum yang masih dipaksakan ramah.
"Jangan salah paham! jika tadi yang meminta sesama Indonesia, aku tidak akan memberikannya, tak peduli darimana asalnya, dan anak siapa dia. Tapi, karena yang meminta adalah bule, aku tidak kuasa menolaknya." tuturnya menggeleng kecil. Tapi, apa poinnya? Terserah dia saja! Dan diapun melanjutkan. "Aku juga kehausan dan ingin mempertahankan airku, tapi aku tidak bisa. Bagaimanapun, kita harus memberikan kesan yang baik pada orang luar, agar mereka memandang negara kita dan orang-orang kita lebih baik lagi." tegasnya. "Nama baik negara adalah kebanggaan rakyatnya." susulnya menutup penjelasannya.
Sekilas, aku terdiam meresapi. Lalu aku memaksakan senyum lagi, tapi kurasakan ada yang kurang dari penjesan itu, entah ia sadar atau tidak. sesaat aku membuang pandangan dengan senyuman miris yang ingin kusembunyikan darinya. Aku ingin mengatakan apa yang aku pikirkan, tapi, kutahan. Bagaimanapun pemikirannya tidaklah salah. hanya saja......???
"Aku duluan ya? sekali lagi, maaf!" sosok itu berpamitan, dan aku hanya bisa mengangguk dengan senyuman yang setengah-setengah. Jujur, masih kurang ikhlas.
Setelah beristirahat dipelawangan, malam itu aku dan rombonganku langsung beranjak kepuncak Rinjani. Setengah dari kami memilih berdiam di tenda untuk esoknya menuju danau Segara Anak yang luar biasa cantiknya. Ditambah lagi pesona Aik Kalak disampingnya, yaitu sungai dengan air terjun-air terjun kecil yang merupakan tempat pemandian air panas alami disana. Mereka harus berpuas hanya dengan itu, dan memang sudah cukup memuaskan jika dipikir-pikir. Kalau bisa puas disana, kenapa nggak? Ngapain harus bangun jam 2 pagi dan mendaki lagi hanya untuk momen sunrise yang katanya, lebih memuaskan dilihat dari puncak? Bahkan bisa melihat panorama pulau selombok hingga pulau-pulau sekitarnya, tapi, dengan resiko tubuh menggigil dingin dan hilang rasa. NEKAT!! DASAR BODOH! Tapi nyatanya aku memilih itu.
Aku nekat menerobos petang dengan yang lainnya hanya bermodal lampu senter dan bekal seadanya. Kukira aku penyuka tantangan, cuaca sedingin digunung yang belum pernah kurasakan tak mengecilkan semangatku, bahkan puncak gunung yang katanya licin berpasir tak sedikit juga membuatku berpikir ulang. Ya, sesekali sih ngeri, tapi aku sudah berniat, dan aku sedang dibakar semangat, hasilnya.......
KINI AKU MERINGKUK...
Dingiiiiiiin! Tubuhku menggigil. Aku kena karma, entah siapa yang kusakiti, tapi aku belum menyerah. Susah payah aku mendaki sampai sini, aku tidak bisa kembali dan menjadi pecundang yang terlelap ditenda seperti yang lainnya. Mereka bilang tak kuat dingin, tak kuat jalan. Aku tidak ingin alasan-alasan itu! Bahkan tak bersedia mencari alasan. Lagipula disini dingin, disana dingin. Walaupun disini berlipat kali tentunya. Kulawan semua rasa yang mengganjal, dan kukatakan pada diri sendiri 'aku harus sampai puncak!' aku tahu melelahkan, aku tahu sangat dingin, aku tahu berbahaya, bukankah aku sudah merasakannya?
Kini dengan pakaian yang berlapis-lapis tak kalah dari kue lapis sekalipun, aku membara lagi. Kapan lagi aku bisa kemari? belum tentu ada kesempatan lagi, dan akhirnya aku menerjang udara yang menusuk-nusuk. Aku tidak ingin kalah! Kalau dingin ya dingin sekalian! Gertakku. Dan......
AKU KIAN MENGGIGIL.
Terlalu dingin. Bibirku menghitam dan kering. Aku tidak tahan, tapi aku harus bertanggung jawab untuk kenekatanku. Aku harus tetap berjalan. Aku sudah tertinggal dari rombongan. Aku terus menuntun kaki yang mulai nyut-nyut-an lagi. Ingin rasanya aku berlari saja untuk meminimalisir rasa dinginku, kurasakan ia semakin menusuk setiap aku mulai mengistirahatkan langkah. Aku harus tetap bergerak! Aku harus tetap bergerak! Berulang kali kukatakan itu, sampai akhirnya, aku menyerah juga.
Ini terlalu dingin. Aku tidak bisa berjalan terus. Dan...! sebuah bohlam tiba-tiba menyala diatas kepalaku. Oiya! Bodoh sekali! aku lupa dengan isi backpackku. Benar juga kata orang, keputusasaan dapat mengiring kita pada dua hal : solusi, atau bunuh diri. Aku lempar pilihan kedua jauh-jauh, karena itu tindakan paling idiot dalam kehidupan, dan aku menemukan solusinya.
Dengan sisa tenaga, aku gegas membuka backpackku. Kukeluarkan isinya, kompor portable, dua sachetkopi dan dua gelas plastik, bahkan ada camilan, tapi camilan sedang tidak kubutuhkan. Aku hanya ingin membuat kopi. Lalu kukeluarkan juga wajan, dan sebuah botol air minum tentunya. Aku selamat. bertahanlah tubuh! Kita bisa melaluinya!
Segera aku mencari posisi yang enak. Terimakasih kompor! jasamu takkan kulupa. Aku menghangatkan tangan disela memasak air. Untuk sejenak, aku merasa sedikit hangat. Aku melindungi nyala kompor dari angin jahat yang meniupnya kencang. Brrrr! Dingiiin! Sialan angin ini! membuatku tak sabar untuk segera menenggak kopiku. Dan begitu matang airnya, gegas tanganku meracik kopi.
"Hi Bro! May I ask your coffee?"Seorang bule tiba-tiba muncul dan meminta kopiku. Tadinya ingin kuminum dua-duanya, satu pasti tidak akan cukup. Tapi melihat bule itu, aku tidak tega. Aku mengerti sekali apa yang dia rasakan. Akhirnya gelas pertama kuberikan padanya, dan ditengah-tengah itu, sesosok orang muncul lagi. Tubuhnya tak kalah menggigil. Wajahnya pucat. Tidak heran, cuaca digunung tidak pilih kasih, semua orang yang nekat ke puncak, wajahnya merata. Tapi aku sedikit terkejut, ia adalah sosok orang itu, aku mengingatnya. Remang pagi sudah cukup terang untuk melihat wajah semua orang. Dia adalah orang yang kumintai air minum siang itu. Dan malah memberikannya pada seorang bule demi nama baik negara. Kini, Ia melihatku dan sang bule bersiap menyeruput segelas kopi kami masing-masing.
Tiba-tiba aku mengingat kejadian siang itu. 'karma' pada apa yang kini terjadi, mungkin hanya sebatas opini. Sosok itu enggan menyapa, barangkali, ia ingat apa yang dia lakukan. Dia hanya bisa melirik saat aku dan bule itu menghangatkan diri dengan kopi, sedang ia kedinginan, dan sepertinya terlalu malu untuk bergabung, aku juga tidak menawarkannya, bukannya aku dendam, aku hanya tidak punya persediaan lagi. Hatiku jadi bingung tak menentu. Bagaimana mungkin aku tak kasihan pada wajah itu? Ia sungguh pucat. Aku serba salah, bimbang sesaat. Kukatakan pada diriku, karma tak pernah kita ketahui hukumnya. Ini hanya sebagian dari proses alam yang berbahasa untuk mengingatkan manusia akan tindakkannya. Dan....
Setelah melihatnya berjalan melewati aku dan sang bule, aku berdiri.
"Bro!" panggilku.
Ia menengok. "Yaa?" jawabnya pendek.
Aku mendekatinya, dan... "Minumlah! Ini dingin sekali."
Aku memberikannya kopiku. dan enggan dia untuk menerima. Ia sempat ragu, kulihat matanya berkaca menatapku. Ia meraih kopi itu dari genggamanku dan tak bisa berkata-kata.
Aku tidak tahu apa pendapat orang akan tindakanku itu, tapi aku ikhlas tanpa perlu merasa sok heroik. Aku tahu aku bodoh. Bagaimana mungkin aku mengorbankan diri untuk orang lain hanya karena rasa simpati? Bukankah aku juga kedinginan? Baiklah! Selanjutnya akan kutanggung resiko tindakan sok heroik itu, dan anehnya, rasa hangat seolah keluar dari dalam dadaku.
"Kenapa kau memberiku kopimu? kau tidak dendam padaku?" tanyanya.
"Jujur... tadinya iya. Tapi setelah aku pikirkan lagi, apa yang kau katakan ada benarnya juga, kita memang harus memberi kesan yang baik pada orang luar. Dengan begitu mereka akan lebih menghargai kita."
"Tapi aku bukan orang luar."
Aku terseyum. "Kau telah melupakan satu hal kawan. bagiku, sebelum menolong orang luar, kau harus menolong orang yang paling dekat denganmu terlebih dahulu. Begitulah aku memahami rasa kemanusiaan." jawabku. "Apa gunanya namamu baik jika saudaramu terlantar? Jauh sebelum nama baikmu kepada orang diluar sana, ciptakan nama baikmu dinegaramu terlebih dahulu, karena tidak ada gunanya namamu baik, jika orang-orang disekitarmu tidak menghormatimu. Kita ini Indonesia, Kita berharga."
".......minumlah kopimu" ia menyodorkan gelas kopi itu kembali padaku.
"Kau saja. Tadi aku sudah menghangatkan tubuh pas masak air"
"Men,Thank you so much. I’ll go first, bye"bule itu menyela ditengah kami.
"Okay! Good luck!" jawabku. Dan bule itupun pergi.
tiba-tiba sosok orang itu mendekat kearah sang bule, Aku tidak tahu apa yang diinginkannya. Dia terlihat kesusahan menjelaskan pada bule itu apa yang ingin dikatakannya, Sampai akhirnya, aku melihat bule itu memberinya bekas gelas kopi yang tadi dipakainya. Bule itu tidak meninggalkan sampah seenaknya rupanya, dia membawanya. Tapi apa yang dilakukan orang itu?
Ia kembali padaku setelah berpamitan dengan sang bule, dan ia memberiku gelas kosong yang tadi dimintanya. Aku masih heran. Dan tak kuduga ternyata dia membagi kopi yang aku berikan untuknya.
"Kita ini Indonesia. Kita berharga." Ucapnya mengembalikan kalimatku. Kutatap kesungguhannya, dan kamipun tertawa kecil bersama. Sejenak, kulihat diseberang sana, bule yang tadi, tersenyum melihat kami, dan kubalas senyuman itu.
"I love you Rinjaniiiii!" Teriakku.
"I love you Indonesiaaaa!!!!" teriak orang itu disebelahku, dan ia mengeluarkan sesuatu dari kerilnya, sangsaka merah putih. Dia meminta seseorang bule untuk memotret, dan kemudian memintaku memegang bendera bersamanya. Hari itu entah kenapa sungguh patriotis kurasakan, dan inilah puncaknya. Aku dan orang itu membentangkan bendera seraya tersenyum didepan kamera.
"Indonesia kita berharga" ucapnya pelan.
"Indonesia, kita berharga." Sambutku melengkapi. Dan kami tersenyum satu sama lain.

Unsur Intrinsik

a.       Tema: Nasionalisme

b.      Amanat: Mungkin memberikan kesan baik kepada orang lain penting, tetapi jangan lupa untuk memberikan kesan baik kepada orang terdekat lebih dahulu.

c.       Penokohan dan Penggambaran Watak :

·         Aku                 :Baik, Penolong, Selalu mengeluh, Berani.
·         Pendaki           :Pelit, Mementingkan kesan daripada teman.
·         Bule                 :Ramah, peduli lingkungan.

d.       Latar:

·         Waktu             : Siang, Petang, Pagi.
·         Tempat            : Gunung Rinjani, Indonesia, Bukit, Bibir bukit, Pelawangan, Puncak.
·         Suasana           : Dingin, Panas, Gersang, Senang, Menyebalkan, Hangat.

e.       Alur: Alur Maju, karena mengisahkan sang Aku yang sedang mendaki gunung.

  .     Latar Belakang: Latar Belakang Budaya, Kita harus mementingkan kawan sebangsa yang sangat membutuhkan, tetapi bukan berarti mennggalkan orang asing juga hanya membedakan dengan maksud prioritas saja.

g.      Nilai Kehidupan: Kita harus saling membantu jika orang lain dalam kesusahan. Dalam budaya, di indonesia rasa nasionalisme harus ditanamkan sejak kecil.



No comments:

Post a Comment